Menjadi Aku atau Kemauanmu?
Oleh : Feby Yutika Anshori
Oleh : Feby Yutika Anshori
201410230311271
Psikologi E
Universitas Muhammadiyah Malang
(15 November 2014)
Langkah kaki ini mulai gontai,
terseok-seok, hampir jatuh tersungkur. Namun masih tetap kupertahankan agar aku
dapat berdiri tegak. Berhenti, dan duduk di sofa ruang tamu. Menyandarkan
punggung dan menempelkan kepala di sofa melepas kelelahan. Hidup ini sudah tak
berharga lagi bagiku, terlebih semenjak kedua orang tuaku benar-benar menghujat
diriku. Karena mimpi mereka telah kukandaskan. Aku seperti hidup sendiri, tak
dianggap ada lagi. Peristiwa itu sudah membuat keduanya kecewa padaku. Aku
sudah tak berdaya lagi, ini diluar batas kemampuanku, tetapi mereka enggan
memahami itu. Aku terus disalahkan.
Semua berawal dari kenginan orang tua
yang bertentangan dengan apa yang kumau. Aku harus memilih, dan aku memilih
untuk menentukan hidupku sendiri, mengejar cita-citaku. Itu tak membuat mereka
mengerti, mereka terus memaksaku, dan akhirnya aku mengikuti apa yang mereka
mau. Namun itu semua tak bertahan lama, setelah satu tahun berjalan, aku
semakin tersiksa. Tersiksa batin dan fisikku.
***
Sosok itu hadir lagi, kini dengan raut
wajah penuh amarah. Lelaki itu memandangku dengan tatapan mata yang tajam. Aku
ketakutan, seluruh tubuhku bergetar, keringat bercucuran. Ia melangkah semakin
mendekatiku, tubuhku menggigil, aku ingin menangis, tapi air mata ini terlalu
beku untuk keluar.
“Terkutuk kau.” Teriakannya mambuat
gendang telingaku seakan pecah.
“Siapa kau? Mengapa engkau hadir lagi?
Tak cukupkah engkau menganggu hidupku?” kuberanikan diri membalas teriakan itu
dengan nada yang gentar.
Ia tertawa licik, “Tak usah kau
pertanyakan siapa aku.”
“Lantas apa maumu?”
“Bajingan kau. Kau bajingan Barley.
Bajingan. Bajingan.”
“Cukup bodoh. Tutup mulutmu!”
Dari balik pintu kudengar seorang wanita
tertawa kekeh mendengar teriakanku. Ia mendekatiku, memegang sebuah pisau
ditangan kanannya. Lelaki di depanku tertawa, wanita itu pun tertawa ketika mereka saling berpandangan. Aneh.
“Kau telah menghancurkan mimpi kami
Barley, sekarang kau harus merasakan pembalasan kami. Hati kami hancur Barley,
seperti tersayat pisau. Kini kau harus merasakan pula.” Kata wanita itu sambil
memainkan pisau di depan wajahku.
“Hentikan. Jauhkan itu dariku. Cukup!
Pergilah kalian dari sini! Biarkan hidupku tenang dengan jalanku sendiri.”
“Ini semua ulahmu Barley, ini semua
salahmu.” Teriak lelaki itu sambil mencekik leherku.
Aku mengerang kesakitan, susah bernafas,
paru-paruku mengkerut. “Arrkhh...hentikan bodoh, hentikan!”
Cengkeraman tangan itu semakin kuat. Aku
memberontak, memegang tangan lelaki itu, memukul kepalanya, dan kudorong
tubuhnya menjauh dariku. Ia terguling jatuh kebelakang, dan mengerang kesakitan.
Dengan cepat wanita yang berada tak jauh dariku mengayunkan pisau dan hampir
menyayat leherku, segera aku menangkisnya, mendorong wanita itu kebelakang
hingga ia terjatuh dan kepalanya terbentur meja. Darah bercucuran, aku menjadi
gemetar.
“Itu bukan aku, kenapa aku jadi semakin
garang, aku hanya ingin membela diriku, mencari kebebasan, aku tak mau lagi di
kekang, aku ingin berusaha sendiri sesuai dengan kemampuan dan keninginanku.”
Pikirku dalam hati.
“Dasar kau biadab.”teriak lelaki. Dengan
cepat ia mengambil pisau yang berada di tangan wanita itu dan menusukkan ke
perutku.
“Arrhkk...Tolong aku.”
Aku menggeliat-geliat di atas lantai,
darah bercucuran, perutku nyeri dan sakit. Tubuhku semakin melemas, teriakanku
semakin lama semakin mengecil. Suara itu masih sayup-sayup terdengar sebelum
aku mati, tertawa puas. Ya...mereka tertawa puas.
***
Aku terperanjat bangun dari tidurku,
masih di ruang tamu. Tubuhku lemas dan berkeringat. Kulihat perutku, tak ada
satupun yang terluka. Aku duduk meringkuk, memegangi kepalaku, tubuhku semakin
gemetar. Suara-suara cacian itu masih terngiang-ngiang di telingaku, rasa
cekikan dileher itu masih membekas. Aku ketakutan, kepalaku sakit, aku
benar-benar depresi.
Tak seorang pun mau memahami aku, kenapa
hidupku harus seperti ini. Bahkan kedua orang tuaku semakin hari semakin
membenciku. Apa aku salah jika aku ingin melakukan hal yang kumau berdasarkan
kemampuanku? Apa aku salah punya cita-cita? Mengapa semua orang memaksaku
menjadi apa yang sesungguhnya bukan kemauanku? Lantas aku ini siapa? Apa aku
hanya dianggap sebagai alat pemuas hati mereka?
Ayah-Ibu,
ijinkan aku menjadi diriku sendiri. Janganlah kau paksa aku, aku butuh
dukungan. Bukan cacian, dan menerima
amarahmu. Aku menjadi gila, benar-benar gila.